Ekowisata Bukit Lawang yang menarik dengan berjalan kaki, orangutan di alam bebas, dan merasakan keindahan hutan tropis
Kami berkumpul di Restoran Kapal Bambu yang berada di hotel eco-lodge, Bukit Lawang, Bahorok, pada akhir Januari 2025. Tujuan kami adalah mendaki atau hiking, bukan trekking, untuk melihat orangutan Sumatra atau mawas (Pongo abelii). Kegiatan hiking ini dipandu oleh dua pemandu lokal dari hotel eco-lodge dan dimulai melalui jalur yang terletak di belakang restoran tersebut.
Jalur pendakian menuju habitat orangutan memiliki kontur yang sedikit menanjak. Pada bagian awal, rutenya terdiri dari tanah yang telah dibentuk menjadi anak tangga oleh pengelola wisata alam hutan hujan tropis dan habitat mawas, yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Jalur awal ini dulunya berupa lintasan alami yang telah mengalami beberapa penyesuaian. Pengelola wisata alam telah mengubah kontur tanah menjadi anak tangga. Kehadiran anak tangga ini mencerminkan upaya pengelolaan dan penataan jalur pendakian untuk meningkatkan kenyamanan serta keamanan para pengunjung.
Hiking untuk melihat orangutan Sumatra di Bukit Lawang, yang secara harfiah berarti “pintu menuju bukit,” berlokasi di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Tempat ini berada sekitar 90 km dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara. Sebagai salah satu destinasi wisata alam unggulan, Bukit Lawang menjadi daya tarik favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Pada awalnya, sejak tahun 1973, di Bukit Lawang terdapat pusat rehabilitasi orangutan seluas 200 hektare yang berfungsi untuk merehabilitasi orangutan hasil sitaan dari masyarakat sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Namun, pada tahun 2017, pusat rehabilitasi tersebut resmi tidak lagi beroperasi.
Berdasarkan informasi yang terdapat di situs resmi TNGL, Bukit Lawang yang memiliki luas 1.313,95 hektare merupakan salah satu tujuan wisata alam liar paling terkenal di TNGL.
Vegetasi awal yang kami temui saat mendaki adalah perkebunan karet (Hevea brasiliensis). Perkebunan ini menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk Bukit Lawang selain sektor pariwisata. Di sekitar area tersebut, juga terdapat beberapa homestay yang menjadi tempat menginap bagi para wisatawan.
Setelah melewati beberapa penginapan homestay, kami akhirnya tiba di pintu rimba, titik awal menuju lokasi pengamatan orangutan. Pintu rimba berfungsi sebagai tempat registrasi bagi para pengunjung yang akan masuk ke kawasan pengamatan orangutan, yang dikelola oleh petugas TNGL. Di sana, kami sempat berfoto bersama dan juga mengambil beberapa swafoto. Di area pintu rimba sendiri terdapat pilar atau tugu yang memberikan informasi terkait TNGL Bukit Lawang.
Setelah proses registrasi di pintu rimba, kami mulai memasuki kawasan TNGL. Suasana hutan yang rimbun mulai terasa kontrasnya, berbeda dengan area perkebunan dan homestay yang baru saja kami tinggalkan.
Rute masuk hutan terlihat jelas, tetapi kami harus mengenali akar tanaman yang timbul di permukaan tanah untuk menghindari tersandung. Kami juga harus memeriksa kehadiran para pemandu yang membimbing kami sehingga tidak tersesat atau salah arah.
Di sepanjang jalur hutan, kami juga melihat kera yang mengonsumsi daun, yang dikenal dengan nama kera kedih (Thomas Leaf Monkey). Hutan Bukit Lawang merupakan tempat yang penuh dengan variasi hayati, termasuk beragam spesies primata, burung, reptil, amfibi, serangga, serta mamalia dan tumbuhan lainnya.
Sebelum tiba di lokasi pemantauan, para pendaki akan menjumpai fasilitas tempat berlindung yang dirancang untuk kenyamanan dan keselamatan mereka. Dua area tempat berlindung tersedia di lokasi-lokasi tertentu. Tempat-tempat ini tidak terpisah terlalu jauh dan menawarkan perlindungan yang aman dari sinar matahari serta hujan ringan. Ini memberikan kesempatan bagi pendaki untuk mengisi ulang tenaga mereka sebelum melanjutkan perjalanan.
Setelah beristirahat sejenak di tempat perlindungan, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi pengamatan mawas. Ini adalah lokasi di mana orangutan berkumpul ketika musim panen buah-buahan kesukaan mereka tiba.
Di tempat pengamatan orangutan, terdapat sebuah jembatan yang dijelaskan oleh pemandu sebagai perangkat untuk memantau dan sebagai jalur orangutan. Namun, jembatan itu terkunci karena mengalami kerusakan.
Pemandu menyatakan bahwa jembatan ini pernah menjadi lokasi favorit bagi orangutan untuk berkumpul saat musim buah, menjadikannya lokasi pengamatan yang sangat baik. Adanya jejak-jejak jalan yang terlihat di dalam hutan menunjukkan bahwa kawasan ini memang sering dikunjungi oleh para wisatawan.
Pengamatan terhadap Orangutan Sumatera (Pongo abelii) menjadi pengalaman yang sangat berarti selama perjalanan hiking kami di Bukit Lawang. Meskipun kami tidak menemukan orangutan di sekitar jembatan yang biasanya dikenal sebagai lokasi umum mereka berlalu-lalang.
Namun saat yang kami nanti-nantikan akhirnya datang. Secara tiba-tiba, kami menyaksikan seekor orangutan betina yang sudah dewasa bersama anaknya. Momen ini memberikan kami peluang yang tidak biasa untuk mengamati interaksi antara ibu dan anak dalam habitat alami mereka.
Pemandu kami yang sepertinya akrab dengan orangutan ini memanggilnya Wati. Pengetahuan pemandu mengenai nama orangutan ini mengindikasikan adanya ikatan dan pengamatan yang dilakukan terhadap individu yang sering terlihat di area wisata.
Orangutan ini termasuk dalam kelompok semi-liar yang merupakan hasil dari program pemulihan sebelumnya di Bukit Lawang. Individu dengan status semi-liar ini umumnya lebih terbiasa dengan interaksi manusia dibandingkan dengan orangutan yang sepenuhnya liar, meskipun mereka masih hidup secara mandiri di dalam hutan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, orangutan Sumatera merupakan salah satu spesies hewan liar yang mendapatkan perlindungan di Indonesia.
Sementara itu, organisasi pelestarian global, IUCN (International Union for Conservation of Nature), telah menempatkan Orangutan Sumatra dalam daftar merah sebagai spesies yang sangat rentan terhadap kepunahan (IUCN Red List). Di samping itu, spesies ini juga tergolong dalam Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional mengenai Tumbuhan dan Satwa Langka (CITES).

