Pada pagi hari tanggal 7 September 2016, sebelum perjalanan menuju Eco Farming Center di Desa Timbang Lawan, Bahorok, Langkat, Sumatera Utara (tulisan saya; menengok-kebun-organik-ecofarming-bahorok), saya singgah sebentar di Restoran Kapal Bambu Eco-Lodge. Saya diantar oleh Anto, seorang staf Eco-Lodge Bukit Lawang yang juga merupakan warga setempat.
Akses menuju lokasi melalui titian gantung yang mampu menampung maksimal delapan orang, terletak di sisi kiri depan Hotel Rindu Alam. Jembatan ini digunakan oleh penduduk setempat, tamu Eco-Lodge, dan wisatawan domestik maupun mancanegara yang melakukan pendakian di Bukit Lawang.
Setelah menempuh perjalanan singkat melewati jembatan, saya menaiki beberapa anak tangga menuju bangunan Hotel Eco-Lodge. Sesuai informasi di situs http://ecolodges.id, sebagian keuntungan hotel ini disalurkan untuk konservasi orangutan Sumatra dan habitat hutan hujannya, pendidikan lingkungan, serta program pemberdayaan masyarakat.
Bangunan yang sekarang menjadi Eco-Lodge, menurut Anto, sebelumnya merupakan kepemilikan pribadi. Yayasan Ekosistem Lestari, yang berfokus pada konservasi lingkungan, pelestarian orangutan Sumatera, dan pemberdayaan masyarakat berbasis lingkungan, kemudian mengakuisisinya.
Eco-Lodge menghadirkan suasana hutan tropis yang rimbun, dengan tajuk pepohonan yang hampir sepenuhnya menutupi area hotel. Keunikannya terletak pada Restoran Kapal Bambu yang berada di depan bangunan utama hotel, berbentuk kapal dan terbuat dari bambu.
Restoran Kapal Bambu, bangunan dua lantai, memiliki restoran dan gerai suvenir di lantai dasar. Lantai atas difungsikan sebagai area bersantai dengan pemandangan Eco-Lodge. Desain lantai dasar restoran menampilkan ruang dapur berdinding tanah liat, bar, dan area makan dengan perlengkapan dari bambu.
Sebelum menaiki tangga menuju lantai atas yang terbuat dari bilah-bilah bambu persegi panjang, kita diwajibkan melepas alas kaki. “Silakan lepas sandal di bawah tangga, ya?” kata Anto. “Karena lantai atas jarang-jarang, dan di bawahnya terdapat restoran.”
Tangga spiral bambu mengantar saya ke lantai atas, yang seluruh konstruksinya—lantai, tiang, dinding, dan atap—terbuat dari bambu. Menurut Anto, bambu yang digunakan berasal dari dua jenis berbeda, yang semuanya dipanen dari sekitar Bukit Lawang dan berbagai desa di Bahorok.
Lantai dan tangga menggunakan susunan bilah bambu yang identik, direkatkan dengan paku khusus.
Tiga batang bambu berdiameter besar membentuk struktur segitiga penyangga atap.
Anto menjelaskan bahwa arsitek restoran tersebut menggunakan material atap berupa serat bambu yang dicampur dengan bahan lain dan perekat khusus.
Ayunan bambu berbentuk sarang burung jalak mempercantik interior dek restoran bambu tersebut.
Sekitar dua puluh menit kami menikmati pemandangan di geladak restoran kapal bambu. Pertemuan dengan seorang pria Jerman di lantai dasar dan satu mobil penuh akar wangi yang dibawa kembali ke Medan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Terima kasih Lukas dan Anto.