Sebuah papan petunjuk berukuran sekitar dua kali tiga meter tinggi dua meter menjadi pintu masuk saya pada Rabu, 7 September 2016, ke lahan Eco-farming Center, Desa Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Berdasarkan informasi laman daring, lahan seluas lebih dari satu hektare tersebut adalah milik Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), lembaga yang fokus pada pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Lahan tercatat semula dikenal sebagai Agro Techno Park sejak tahun 2006.
Berjarak sekitar sepuluh meter dari akses, ada kilang pengolahan bambu yang beroperasi secara ramah lingkungan untuk mendukung Restoran Kapal Bambu—salah satu ikon Eco-Lodge di Bukit Lawang—tidak beroperasi lagi.
Seorang penjaga di Eco-farming Center, Alan, mengatakan bahwa dia dan banyak orang lain pernah dilatih dan bekerja di kilang. “Dahulu saya dilatih juga kerja di situ, dan banyak yang kerja,” kata dia kepada saya di malam selepas Isya, 7 September 2016.
Dia menambahkan, penutupan pabrik itu karena pembangunan Restoran Kapal Bambu itu belum memerlukan bahan baku untuk perbaikan, “tenaga ahli asingnya juga minta disetop.”
Sekitar lima meter di sebelah kiri kilang bambu dan kolam pengawetan bambu, Anda akan memasuki area organik. Kita akan menemukan sawah di mana padi organik ditanam. Beberapa artikel laman online juga menyebutkan bahwa areal persawahan dahulunya merupakan kolam.
Di atas sawah melintang jembatan bambu, panjangnya sekitar lima puluh meter, selebar meter dan tinggi lebih dari satu meter. Sebuah gazebo dibangun di tengahnya, dengan atap yang terbuat dari tanaman berbunga kuning. Jembatan bambu ini juga berasal dari pabrik bambu.
Setelah berjalan melewati titian bambu, kita akan melihat rumah panggung. Bangunan itu juga dapat dilihat saat kita berdiri di depan hamparan sawah sebelum berjalan melewati titi bambu, letaknya ada di sebelah kiri lokasi kita.
Rumah ini juga dibangun dengan mempertimbangkan memakai bahan bangunan ramah lingkungan, kecuali pilar-pilar penyangganya tidak terbuat dari bahan yang ramah lingkungan. Semua bahan bangunan bersumber dari daerah sekitar dan sangat ramah lingkungan. Tangga, lantai, dan tiang penyangga terbuat dari pohon kelapa dan bambu, sedangkan dinding dan atapnya terbuat dari campuran tanah liat dan sekam padi.
Pak Alan mengatakan rumah panggung tersebut dirancang oleh seorang arsitek asal provinsi Aceh. “Namanya Burhan… Saya tidak tahu nama lengkapnya, Pak. Saya juga membangunnya bersama teman saya yang bekerja di pabrik bambu,” imbuh seorang warga setempat saat kami berbincang-bincang di bangunan tersebut pada malam harinya.
Terdapat area organik di belakang bangunan, yang ditanami sayur-sayuran dan buah-buahan, tanaman obat, tanaman penangkap hama, serta pohon buah-buahan seperti rambutan dan manggis. Ada juga beberapa bangunan baru seperti; gedung registrasi/laboratorium, digester biogas, bangunan yang seluruhnya terbuat dari bambu, seperti; kandang sapi dan domba, gedung pengomposan dan aula konferensi.
Menurut Yenni Lucia, pengelola kebun Eco-farming Center, segala sesuatu yang dilakukan di lahan dan bangunan sepenuhnya ramah lingkungan. “Bangunan laboratorium ini didanai oleh pemerintah Jepang, dan meskipun bahan bangunannya tidak ramah lingkungan, namun ramah energi, seperti menggunakan sel surya untuk menghasilkan listrik, menggunakan biogas di bagian belakang, dan menggunakan air yang disaring dari reservoar.”
Pengelolaan lahan pertanian tersebut, imbuhnya, menerapkan prinsip pertanian organik dan ramah lingkungan secara menyeluruh, meliputi pengelolaan air, budidaya tanaman, dan infrastruktur pendukungnya.
“Ketika Anda memasuki lahan ini di samping persawahan dan titi bambu, Anda akan menemukan semak belukar dan rerumputan tinggi. Kami sengaja menciptakan lingkungan tersebut, agar dapat menyaring zat kimia yang mengalir ke lahan organik melalui air.” Kata dia kepada saya, pada pagi hari tanggal 8 September 2016, dia menambahkan, “Kami juga membiarkan batas-batas lahan tetap rimbun untuk bertindak sebagai penyaring antara lahan organik dengan lahan non-organik milik Masyarakat setempat.”
Luas lahan seluas lebih dari satu hektare ini tidak menimbulkan rasa jenuh, lelah, maupun gelisah, sesuai dengan tujuan pendirian Pusat Pelatihan Lingkungan Hidup (PPLH) Bahorok. Sebagaimana dikutip dari laman http://eko-medan.blogspot.co.id , Ketua YEL, dr. Sofyan Tan, menjelaskan bahwa PPLH Bahorok didirikan dilatarbelakangi keprihatinan atas ketergantungan masyarakat pada bantuan pascabanjir bandang.












