Pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 menyebabkan dampak besar di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kedua kabupaten penghasil kopi arabika ini mengalami kerugian dalam kesehatan dan ekonomi. Petani dan pelaku usaha kopi arabika sangat terdampak, kesulitan produksi dan distribusi.
Setelah mendampingi kelompok-kelompok petani binaan, pada pelatihan Internal Control System (ICS) di Bukit Lawang, Sumatra Utara 8-10 Maret 2020. Dua pekan berikutnya, situasi di Takengon masih kondusif selama saya bertugas sebagai Koordinator Lapangan, mengawasi implementasi ICS pada proses produksi kopi organik kelompok tani binaan.
Beredarnya kabar di media sosial pada pekan kedua Maret tentang pasien suspek Corona yang dirawat di sebuah rumah sakit di Kabupaten Aceh Tengah, tidak memengaruhi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat, terutama perekonomian petani kopi.
Pada kunjungan awal ke kelompok binaan di Desa Pondok Gajah, Kabupaten Bener Meriah, saya mengamati bahwa protokol jarak sosial (social dan physical distancing) belum diterapkan di gudang pengolahan kopi.
Pihak pengelola gudang proses melaporkan belum adanya penerapan peraturan tersebut di unit kerja dan kelompok tani mereka, karena di Kabupaten Bener Meriah, khususnya desa lokasi gudang, nihil kasus infeksi virus corona.
Pada Jumat, 13 Maret 2020, Mis ketua kelompok Tani Kopi Pondok Gajah menginformasikan bahwa pekerja sortir kopi di tempat tersebut masih berasal dari sekitar wilayah setempat dan belum pernah bekerja di luar daerah. “Yang bekerja sortir kopi, ibu-ibu masih orang-orang sekitar sini, gak pernah keluar daerah”. Kata Mis kepada saya.
Kelompok Tani Kopi Pondok Gajah, beranggotakan sekitar 70 petani di Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, telah berpartisipasi dalam proyek yang saya koordinir sejak Januari 2020. Kelompok ini, yang dipimpin oleh Mis—juga seorang pemroses kopi—sedang dalam proses konversi dari pertanian konvensional ke organik, yang mengharuskan petani untuk menghentikan penggunaan bahan kimia selama minimal tiga tahun.
Pada pekan kedua Maret, kegiatan saya terfokus pada penyelesaian administrasi pendukung proses produksi kopi dan konsultasi dengan ketua kelompok tani binaan mengenai implementasi pelatihan ICS di Bukit Lawang, termasuk perencanaan inspeksi internal lahan tahun 2020.
Produsen kopi arabika Gayo di Takengon dan Bener Meriah mengalami dampak serius akibat pandemi COVID-19. Sejak Maret 2020, kebijakan pembatasan ekonomi yang diterapkan kedua pemerintah daerah tersebut menghambat proses pascapanen kopi oleh kelompok tani binaan dan mitra kerja di wilayah tersebut.
Meskipun peraturan tersebut berlaku, kegiatan panen kopi oleh petani tetap berjalan normal karena tidak ada larangan dari pemerintah lokal atau desa untuk beraktivitas di kebun selama pandemi. Peraturan tersebut hanya mengatur proses pascapanen, khususnya hand sorting (pemilihan kopi secara manual), dengan menerapkan pembatasan fisik dan mengurangi kerumunan.
Menindaklanjuti adanya 18 orang dalam pemantauan (ODP) COVID-19 di Aceh Tengah dan temuan kasus baru virus corona di Provinsi Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, beserta pemerintahan desa di wilayahnya, mulai memberlakukan himbauan dan peraturan pencegahan sejak minggu ketiga Maret. Upaya ini termasuk pendirian posko-posko pemantauan di desa-desa untuk membatasi mobilitas warga luar daerah.
Aturan tersebut membatasi mobilitas saya dan tim, sehingga menghambat koordinasi kegiatan produksi kopi, menunda sementara pemetaan lahan kopi organik, dan berpotensi menggagalkan inspeksi lahan tahun 2020.
Saat berdiskusi dengan pengurus kelompok tani kopi Desa Umang Isaq, Aceh Tengah, terkait rencana digitalisasi pemetaan lahan dan inspeksi lahan petani baru yang melakukan konversi dan organik, saya memperoleh informasi mengenai kondisi tersebut.
Pemerintah Desa, menurut keterangan pengurus kelompok, telah memberlakukan larangan akses bagi warga luar daerah sebagai upaya pencegahan dan pemutusan rantai penyebaran virus Corona. Hal ini disampaikan oleh Ngatino, ICS kelompok, pada Kamis, 19 Maret 2020, yang menyebutkan adanya peraturan baru dari kepala desa yang melarang masuknya orang luar. “Pak reje (kepala desa) sudah mengeluarkan peraturan baru untuk basmi virus corona, orang luar dilarang masuk saat ini ke Umang Isaq”.
Ketua kelompok Umang Isaq, Karyadi, menjelaskan bahwa selain pembatasan mobilitas, mitra pengolah kopi di Takengon juga mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan. Kondisi ini mengakibatkan mempengaruhi percepatan proses pengolahan kopi secara keseluruhan.
Pembantu pemroses kopi dari kelompok tani kopi Desa Wih Bersih, Tose, menyampaikan informasi serupa; mengenai hambatan proses kopi karena pengurangan aktivitas oleh mitra pemeroses. ”Bang…sampel kopi untuk kontrak 20005 belum tersedia ya! Belum bisa di ambil, proses DP (hand sortir) agak lambat karena corona ini”, katanya.
Pada akhir Maret 2020, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Aceh, termasuk Aceh Tengah dan Bener Meriah, memberlakukan jam malam mulai pukul 20.30 hingga 05.30 WIB untuk membatasi aktivitas sosial masyarakat di malam hari.
Pemberlakuan jam malam tersebut tidak hanya menghambat aktivitas sosial dan ekonomi Aceh, melainkan juga mengganggu distribusi kopi dari Aceh Tengah dan Bener Meriah ke gudang penyimpanan utama di Sumatera Utara.
Pada akhir Maret 2020, saya menerima laporan dari mitra pengiriman bahwa setiap kiriman kopi mengalami penundaan akibat tindakan otoritas setempat.
Mulyadi menginformasikan melalui telepon seluler pada Senin, 30 Maret 2020, bahwa mobil transpotrasi tidak dapat melanjutkan perjalanan. “Mobil tidak bisa berangkat ke Medan, kalau berangkat juga, nanti kalau balek ke Aceh harus karantina di perbatasan selama 14 hari”, kata Mulyadi kepada saya saat pemeriksaan kendaraannya di kawasan Silih Nara, Aceh Tengah.
Di Desa Wih Bersih, Mulyadi berperan sebagai ketua kelompok tani kopi dan pemroses kopi, sekaligus sebagai mitra logistik yang mendistribusikan hasil panen ke gudang kopi di Sumatera Utara.
Aturan jam malam yang diberlakukan hanya berlangsung selama satu pekan. Menanggapi protes dari pelaku usaha menengah dan elemen sosial Aceh yang terdampak, Pemerintah Aceh mencabut maklumat tersebut pada 4 April 2020.
Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penurunan drastis aktivitas pembelian kopi arabika oleh pelaku usaha. Penundaan pembelian dari pembeli luar negeri menyebabkan harga kopi ceri di tingkat petani merosot dari Rp10.000-Rp12.000 per bambu menjadi Rp6.000-Rp7.000 per bambu.